Penelitian layak dilanjutkan lebih dalam agar bisa diketahui jenis vitamin D seperti apa yang dapat dikonsumsi kelompok berisiko tinggi.

Para peneliti dari Universitas Australia Selatan di Australia membuat sebuah studi tentang hubungan antara kekurangan vitamin D dengan meningkatnya risiko demensia. Ketika itu data dari 294.000 lebih responden di Biobank Inggris digunakan untuk menganalisis bagaimana tingkat vitamin D yang berbeda berdampak pada risiko demensia.

Diketahui, demensia merupakan istilah umum untuk berbagai gejala, termasuk kehilangan ingatan dan kesulitan kognisi yang memengaruhi kehidupan sehari-hari penderitanya. Bentuk paling umum dari kondisi demensia ialah penyakit alzheimer. Saat ini, oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) diperkirakan terdapat 5,8 juta orang di Amerika Serikat yang hidup dengan penyakit alzheimer atau demensia terkait.

Dari studi yang dilakukan, diprediksi risiko demensia mencakup 54 persen lebih tinggi pada mereka yang memiliki kadar vitamin D 25 nmol/L dibandingkan dengan responden yang memiliki kadar vitamin D normal (50 nmol/L).

Hasil studi tersebut juga menunjukkan bahwa dalam beberapa populasi yang diteliti, hingga 17 persen kasus demensia dapat dicegah jika kadar vitamin D ditingkatkan ke level normal (50 nmol/L).

 “Studi kami adalah yang pertama menguji efek tingkat vitamin D yang sangat rendah pada risiko demensia dan stroke, menggunakan analisis genetik yang kuat di antara populasi besar,” kata peneliti senior studi tersebut sekaligus Direktur UniSA’s Australian Centre for Precision Health, Prof. Elina Hyppönen, sebagai mana dikutip dari Healthline, pada Ahad, 19 Juni 2022.

Sebagai respon atas studi tersebut, Scott Kaiser, ahli geriatri dan Direktur Kesehatan Kognitif Geriari di Providence Saint John’s Health Center berpendapat bahwa penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengonfirmasi apakah benar kadar vitamin D yang rendah bakal meningkatkan risiko demensia, mengingat studi baru menunjukkan hubungan antara vitamin D dan risiko demensia.

Menurut Kaiser, jika dilakukan penelitian lebih lanjut maka hal itu bisa sangat berguna. Ia mengatakan, penelitian layak dilanjutkan lebih dalam agar bisa diketahui jenis vitamin D seperti apa yang dapat dikonsumsi kelompok berisiko tinggi.

 “Ini adalah studi yang sangat menarik dan menambah area penyelidikan yang sangat penting antara vitamin D dan risiko demensia,” tutur Kaiser.

Sementara itu Marilyn Tan, seorang profesor kedokteran klinis di Departemen Endokrinologi, Gerontologi, dan Metabolisme di Universitas Stanford, berpendapat bahwa yang paling penting dari penelitian tersebut ialah bisa dijadikan sebagai pengingat agar semakin banyak orang menyadari perlunya perawatan kesehatan secara teratur. Juga melakukan pemeriksaan rutin dan memeriksakan kondisi kesehatan melalui laboratorium.

“Mungkinkah ada manfaat tambahan (pada vitamin D) untuk mengurangi risiko demensia? Bisa jadi. Tetapi saya pikir itu terlalu sulit untuk dikatakan karena kita tidak memiliki percobaan yang memberikan intervensi suplementasi vitamin D untuk menunjukkan peningkatan risiko demensia,” ungkapnya.