Dindin Nasrudin (47), seorang guru honorer pengajar Pendidikan Agama Islam di SDN Sukahaji Desa Cimekar, Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung, menciptakan alat musik berbahan baku limbah bambu. Uniknya, alat musik itu bisa menghasilkan berbagai suara, di antaranya suara angin.
Menurut Dindin, limbah bambu yang ia gunakan adalah bagian penyambung ruasnya atau dalam bahasa Sunda disebut buku. Biasanya buku tidak dipakai oleh para perajin sangkar burung alias hanya dijadikan kayu bakar. Dari perajin sangkar buku itulah Didin memperoleh limbah tersebut.
“Awalnya saya mau memanfaatkan untuk bikin asbak, diukir bagian luarnya supaya lebih menarik,” kata Dindin di kediamannya, Senin (28/2/2022). Namun saat proses membuat asbak itulah ia justru secara tak sengaja menemukan bahwa buku bambu bisa mengeluarkan bunyi unik ketika dipukul.
“Lalu saya ulik, ternyata banyak bunyi yang bisa dihasilkan,” sambungnya. Didin menjelaskan, ukiran yang ia buat selain untuk memperindah juga untuk menentukan suara. “Sehingga harus ada tiga garis supaya bisa beragam suara yang keluar,” terangnya.
Cara memainkan alat musik buatannya menurut Didin adalah dengan menekan, menggesek serta memukul menggunakan tongkat kayu kecil yang panjangnya setengah dari stik drum.
“Mainnya dua tangan, satu menekan di sisi kanan dan satu lagi memukul di sisi kiri. Suaranya akan semakin unik kalau kita bisa mengatur cara membuka atau menutup telapak tangan yang ditekan di sisi kanan, jadi ada keluar masuk udara yang membuat suara semakin unik,” ungkapnya.
Alat musik penemuannya diberi nama jabarua, diambil dari kata jabar berarti kelebihan rua berarti dua ruas bambu. Sebab jabarua memang dibuat dari sambungan ruas bambu
Tinggi jabaruasekitar 7-10 sentimeter dan bentuknya mirip asbak. Karena mungil, alat musik ini praktis dibawa ke mana-mana. Ada tongkat kayu kecil yang menjadi pasangannya. Namun dari benda yang sederhana itu ternyata bisa dihasilkan beragam suara unik, mulai dari dentuman, suara nyaring seperti gelas sampai gemuruh angin.
Untuk memainkan jabarua supaya bisa menghasilkan irama merdu menurut Didin harus lebih dari dua orang yang menggunakan. Jabarua merupakan alat musik ritmis atau tidak bernada, sehingga cocok dimainkan dengan alat musik tradisional lainnya. Tentu dengan ritme atau tempo yang lumayan cepat. Sementara jika dimainkan pada lagu dengan tempo rendah, nada yang dihasilkan jadi kurang memuaskan.
Meski belum lama ia temukan, Didin sudah mulai memperkenalkan jabarua untuk mengiringi murid-muridnya di sekolah dan pesantren sewaktu membawakan marawis, karinding, kacapi atau dijadikan perkusi sewaktu menghafal kitab kuning atau nadhom. “Ini bagus juga dipakai teater, saya baru pakai ini waktu mengisi musikalisasi puisi,” ungkap Didin. Tak puas sampai disitu, Didin masih terus mencoba mengembangkan agar bisa menemukan suara unik lain.
Ke depannya Didin berharap jabarua bisa semakin dikenal banyak orang terutama para pegiat seni. Jika ada yang ingin membeli alat musik ciptaannya Didin tak akan menolak. Namun saat ini jabarua baru di produksi sebanyak 10 buah. “Rencana mau dijual dengan harga Rp 10.000 sampai Rp 20.000-an. Sekarang saya baru mampu bikin sehari paling 5 buah,” pungkasnya.