Indonesia belum pernah mengalami heatwave dari catatan BMKG. Namun panas ekstrem dalam sehari-dua hari atau hitungan jam pernah. Di Jakarta pernah mencapai 38-39 derajat Celsius, tetapi tidak termasuk heatwave.

Gelombang panas atau heatwave yang meningkatkan suhu lebih dari 40 derajat Celsius melanda banyak negara di Eropa, Afrika Utara, Timur Tengah, hingga Asia.

Negara Inggris misalnya, mengalami suhu ekstrem hingga melebihi 40 derajat Celsius sehingga kereta api pun tak bisa beroperasi sebab suhu rel mencapai 62 derajat Celcius hingga mengalami kerusakan. Sementara di Portugal dilaporkan telah terjadi setidaknya 1.063 kematian sejak gelombang panas melanda, pada 10 Juli silam.

Meski banyak negara terdampak, nyataannya negara Indonesia tidak terhitung mengalami hal yang sama. Apa sebabnya?

Jika mengutip dari Direct Energy sebagaimana dimuat oleh CNNIndonesia.com pada Rabu (20/7), gelombang panas adalah kondisi cuaca yang sangat berbahaya di mana suhu melonjak jauh melebihi batas atas suhu di wilayah tersebut. Panas yang tinggi ini bergabung dengan tingkat kelembapan yang tinggi dan menciptakan gelembung panas di area tertentu dalam jangka waktu yang lama.

Gelombang panas sendiri terbentuk ketika udara bertekanan tinggi mengendap di udara dengan ketinggian 3.000-7.600 meter dan menyebabkan udara panas tenggelam. Tenggelamnya udara panas menciptakan gelembung yang bertindak seperti segel dan memerangkap panas di dekat daratan.

Segel tersebut lantas mencegah arus konveksi yang membentuk awan dan awan hujan, yang keduanya akan berfungsi membuat sebuah wilayah menjadi dingin.

Fenomena ini kemudian menghasilkan gelombang panas yang memiliki panas tinggi dan kelembaban tinggi di dekat daratan. Gelombang panas ini bisa berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu.

Gelombang panas tidak hanya terbatas pada area yang biasanya dianggap memiliki suhu tinggi. Fenomena ini dapat terjadi di mana saja ketika udara bertekanan tinggi dapat menciptakan lingkungan untuk membentuk kubah panas.

Namun begitu, disebutkan bahwa keadaan wilayah Indonesia tak memungkinkan fenomena gelombang panas tersebut terjadi.

Diungkap Plt. Deputi Klimatologi BMKG Urip Haryoko melalui rilis BMKG beberapa waktu silam, peristiwa suhu panas di Indonesia tidak dikategorikan sebagai gelombang panas seperti di India karena tidak memenuhi definisi kejadian ekstrim meteorologis oleh Badan Meteorologi Dunia (WMO), yaitu anomali lebih panas 5 derajat dari rerata klimatologis suhu maksimum di suatu lokasi dan setidaknya sudah berlangsung dalam 5 hari.

Termasuk, suhu maksimum sekitar 36 derajat bukan pula merupakan suhu tertinggi yang pernah terjadi di Indonesia, sebab rekor suhu tertinggi yang pernah terjadi adalah 40 derajat di Larantuka (NTT) pada 5 September 2012.

Diungkap BMKG, sirkulasi massa udara memicu tertahannya massa udara panas di atas sebagian wilayah Sumatera dan Jawa sehingga mengamplifikasi atau memperpanjang waktu dan durasi suhu panas pada Mei lalu.

Meski demikian, kondisi tersebut belum masuk kondisi ekstrem yang membahayakan seperti gelombang panas.

Menurut Alberth Christian Nahas, Koordinator Sub Bidang Informasi Gas Rumah Kaca BMKG, Indonesia belum pernah mengalami heatwave dari catatan BMKG. Namun panas ekstrem dalam sehari-dua hari atau hitungan jam pernah. Di Jakarta pernah mencapai 38-39 derajat Celsius, tetapi tidak termasuk heatwave.

“Salah satu komponen yang bisa mengurangi heatwave itu uap air, sedangkan di Indonesia selalu lembap. Potensi untuk heatwave sangat susah terjadi, apalagi sampai 5 hari,” ungkapnya. Di mana kondisi yang sama tidak dimiliki oleh negara-negara Eropa yang biasanya lebih kering.

“Saat musim tertentu, di saat summer, matahari posisinya di sana, temperatur sana lebih tinggi, lebih kering, potensi heatwave lebih besar,” kata Albert.