Bagi kebanyakan orang, mandi bukan cuma akan membuat badan bersih, tapi juga pikiran fresh dan perasaan menjadi nyaman.

Bagi kebanyakan orang, mandi bukan cuma akan membuat badan bersih, tapi juga pikiran fresh dan perasaan menjadi nyaman. Di negara beriklim tropis seperti Indonesia, aktivitas ini bahkan sudah masuk dalam list kegiatan pokok rutin sehari-hari.

Hanya saja tentu berbeda ceritanya pada orang tertentu yang punya phobia mandi atau biasa disebut ablutophobia. Bukan hanya tidak suka mandi, pengidap phobia jenis ini ternyata juga merasa sangat takut jika diharuskan mandi atau membersihkan diri.

Gejala umum yang tampak pada orang dengan ablutophobia ialah serangan ketakutan, cemas bahkan panik ketika berhadapan dengan air, sabun dan kamar mandi. Penderita biasanya merasakan jantung berdetak cepat, sulit bernapas, berkeringat dingin dan bahkan bisa menangis hinggai tantrum, terutama pada anak-anak.

Pengidap phobia ini diketahui bisa datang dari kalangan anak-anak maupun orang dewasa, dengan jumlah terbanyak bergenre perempuan. Anak-anak bisa mengalami ablutophobia jika orang tuanya ada yang mengidap kondisi serupa.

Sebagai catatan, pada penderita yang masih berusia remaja biasanya ada risiko tambahan yang sangat mungkin terjadi sebagai penyerta, yakni perlakuan bullying dari lingkungan. Sebab kawan-kawan seusianya tentu banyak yang tidak memahami situasi yang dihadapi remaja tersebut sehingga akan menambah berat beban kejiwaan. Penanganan dan perawatan dini sejak diketahui adanya gejala ablutophobia merupakan tindakan tepat dan bijak untuk menyelamatkan masa depannya.

Lalu pertanyaannya adalah, mengapa ablutophobia bisa terjadi? Sebenarnya penyebab kondisi tak biasa ini secara pasti belum dapat dipahami oleh para ahli. Namun secara umum ada beberapa kategori yang bisa dijadikan acuan. Pertama, karena adanya pengalaman negatif dan traumatis sehingga muncul phobia mandi.

Kedua adalah secara genetika, di mana ablutophobia dapat terjadi pada anak yang orangtuanya menderita ablutophobia juga. Sedangkan sebab ketiga ialah adanya perubahan fungsi otak, misalnya karena mengalami cedera atau faktor usia.

Walau sering diabaikan karena dianggap remeh dan tidak perlu diobati, sebenarnya penderita ablutophobia berisiko mengalami komplikasi lanjutan. Bayangkan saja masalah apa yang bakal timbul di tempat kerja atau bangku sekolah jika seseorang jarang mandi dan perilakunya menjadi penyendiri ataupun dijauhi. Sudah pasti orang tersebut lama kelamaan akan mengalami depresi sebab terisolasi dari pergaulan sosial. Dan depresi yang tidak diatasi sudah pasti mengarah pada penyakit kejiwaan berbahaya lainnyajika tak ditangani.

Untuk menangani penderita ablutophobia, dokter ahli jiwa perlu dilibatkan. Umumnya dokter akan menyarankan perawatan dengan psikoterapi, baik terapi pemaparan maupun terapi perilaku kognitif.

Pada dasarnya para pengidap phobia ini maupun jenis phobia lainnya sangat membutuhkan empati dan kepedulian orang-orang di sekitar untuk memahami dan mengatasi penyakitnya. Sehingga edukasi dan penanganan tak hanya harus difokuskan pada pemilik phobia, melainkan juga pada orang-orang di sekitarnya agar tak memperparah keadaan.